Teknologi Hasil Ternak (Ilmu Daging)
TINJAUAN
PUSTAKA
Klik gambar untuk memperbesar |
Struktur dan Sifat-Sifat Otot
Otot adalah jaringan yang
mempunyai struktur dan mempunyai fungsi sebagai penggerak serta tersusun dari
banyak ikatan serabut otot atau sering disebut fasikula. Fasikula ini terdiri
dari serabut-serabut otot yang lazim dinamakan miofibril, sedangkan miofibril
tersusun dari filamen-filamen. Kumpulan filamen ini disebut miofilamen. Pada
otot juga terdapat jaringan ikat yang mengelilingi penyusun dari daging.
Soeparno (1998) menerangkan bahwa jaringan ikat tersebut tersusun dari
epimisium yang terdapat disekeliling otot, perimisium yang terletak diantara
fasikula, dan endomesium yang membungkus serabut otot atau sel otot dan juga
membungkus membran sel (sarkolema).
Sarkolema yaitu sitoplasma
serabut-serabut otot yang merupakan substansi koloidal intraselluler yang
terdiri dari 75-80% air. Sarkolema ini mengandung komponen-komponen utama
antara lain, lipid, non protein nitrogen (NPN), granula glikogen, dan komponen
anorganik (Forrest et al., 1975).
Mitokondrial
merupakan organela persegi panjang di dlam sarkoplasma. Mitokondria ini
berfungsi unutk menangkap energi yang berasal dari metabolisme karbohidrat,
protein, lipid, yang kemudian melayani sel dengan energi kimia. Mitokondria
mengandung enzim-enzim yang dipergunakan di dalam proses metabolisme oksidatif
(Forrest et al., 1975).
Menurut
Lawrie (1979), lisosom adalah glembung-gelembung kecil yang mengandung sejumlah
enzim, misalnya katepsin. Enzim-enzim tersebut secara kolektif mampu mencerna
sel dan isi sel.
Kompleks
golgi terdiri dari gelembung-gelembung kecil yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan produk-produk metabolik dari sel. Kompleks golgo terdapat di dalam
sarkolema di dekat inti-intinya. Gelembung-gelembung kompleks golgi menyerupai
membran-membran sarkoplasmik retikulum atau SR (Swatland, 1984).
Miofbril
merupakan organela seratus otot berbentuk silindris. Miofibril terdiri dari
segmen-segmen yang disebut sarkomer. Panjang sarkomer tidak jauh beda dengan
panjang diameter, dimana panjang sarkomer mencapai 2,5 mikrometer. Sedangkan
oanjang diameter miofbril yaitu 1-2 mikrometer (Swatland, 1984).
Miofilamen
(filamen) dimana filamen tebal dan filamen tipis dlam hal-hal dimensi,
komposisi kimia, properti, dan letaknya di sarkomer. Pada filamen tebal
biasanya mempunyai diameter antara 14-16 nanometer, sedangkan untuk filamen
tipis mempunyai diameter kira-kira 6-8 nanometer (Forrest et al., 1975)
Karakteristik Daging
Daging sapi
Daging sapi mempunyai warna merah.
Jumlah mioglobin pada veal sekitar
1-3 mg setiap gram ototnya, 4-10 mg untuk setiap gram beef dan 16-20 mg untuk
setiap gram beef yang lebih tua. Otot merah mengandung serabut
merah. Dari segi tenderness
(keempukan), daging sapi kurang empuk jika dibandingkan dengan keempukan daging
domba atau babi. Hal ini disebabkan karena daging sapi mempunyai perototan yang
lebih besar dan struktur yang lebih kasar. Veal
mempunyai flavor yang lebih ringan daripada beef. Flavor dan aroma daging sapi yang dimasak hampir sama atau
identik dengan daging domba atau babi (Soeparno, 1998).
Menurut Judge et al (1989)
menerangkan bahwa daging sapi mempunyai kadar protein 16-22% dan kadar air
65-80%.
Flavor serum daging mentah atau feef steak adalah karena kombinasi antara garam-garam darah dan
salivasi. Ekstrak air daging, misalnya daging sapi mentah yang dipanaskan akan
menghasilkan flavor yang spesifik. Hasil dialisis ekstrak air daging giling
mentah menunjukkan adanya prekursor didalam difusat yang menghasilkan flavor
seperti daging sapi panggang jika dipanaskan dengan lemak, dan flavor seperti
kaldu daging sapi jika dipanaskan dengan air. Dialisat yang larut dalam air
mengandung glikoprotein dan asam inosinat (atau inosin dan fosfat anorganik).
Inosinat telah dianggap sebagai peningkat flavor daging (Soeparno, 1992). Fraksi volatil daging dari spesies sapi
adalah sangat serupa dengan fraksi volatil pada domba, dan babi (Soeparno,
1992).
Daging ayam
Warna daging ayam adalah putih,
karena kosentrasi mioglobin pada otot ayam sekitar 0,025%. Keempukan daging
ayam lebih baik Dibandingkan spesies yang lain. Perototan yang tidak besar dan
teksturnya halus, yang menyebabkan daging ayam lebih empuk (Soeparno, 1992).
Daging babi
Warna daging babi adalah putih, dan banyak ditemui
serabut putih. Jumlah mioglobin pada daging babi sekitar 0,038%. Karkas babi rata-rata
berwarna pucat karena selain banyak mengandung serabut putih anaerobik juga
kandungan glikogennya tinggi. Flavor dan aroma pada daging babi tidak jauh
berbeda dengan spesies lain. Pork yang
disimpan lama sebelum pemasakan dapat mempunyai flavor seperti keju, karena
ransiditas lemak (Soeparno, 1992).
Prekursor flavor
daging spesies babi adalah substansi nonprotein yang larut dapam air. Prekursor
flavor daging babi terdiri dari dua subfraksi, yaitu fraksi yang mengandung
asam amino, dan fraksi yang mengandung gula pereduksi. Pemanasan masing-masing
subfraksi tidak menghasilkan flavor yang spesifik daging, tetapi pemanasan
kombinasi kedua subfraksi dapat menghasilkan aroma daging. Daging babi mempunyai aroma yang identik dengan daging
sapi dan domba. Fraksi volatil daging dari spesies babi adalah sagat serupa
dengan fraksi volatil pada sapi dan
domba (Soeparno, 1992). Sementara penyimpangan aroma atau bau
spesifik daging babi jantan yang disebut bau boar, terutama disebabkan oleh senyawa yang terdapat didalam lemak
yang tidak tersabun yang telah diidentifikasi sebagai 5a-androst-16 ene-3-one
(Soeparno, 1992).
Menurut Lawrie (1985) Angka Iodium pada babi jauh lebih
tinggi dari ruminan, dan terdapat perbedaan lain yang terlihat besar yaitu
kadar asam linoleat dalam lemak babi lebih tinggi.
Daging kuda
Daging kuda sudah banyak diolah jadi produk sate dan
bakso, walau demikian konsumsi daging kuda belum terlalu dikenal oleh
masyarakat luas. Daging kuda dapat diterima dengan baik walaupun warnanya yang
gelap kurang disukai, selain itu daging kuda juga dapat dijadikan sebagai alternatif
sumber protein daging. Judge et al (1989), menambahkan bahwa daging kuda punya
susunan protein sebesar 28 % dan kadar air pada otot 66%.
Parameter Spesifik Kualitas Daging
Pendinginan dan pembekuan akan berpengaruh pada kualitas daging. Pengaruh
yang sering ada yaitu perbedaan kadar air total, susut masak, keempukan, warna,
pH dan daya ikat air.
Kadar air. Perbandingan kadar
air antara daging segar, beku, dingin dan segar dingin beku. Kadar air daging
segar di peroleh 79,8% dan 79,2%. Kadar air daging dingin 82,03% dan 73,52%.
Kadar air daging beku 80,19% dan 87%. Kadar air daging segar dingin beku yaitu
76,47% dan 82,69%. Daging segar setelah didinginkan kadar airnya meningkat
begitu juga setelah dibekukan. Daging dingin dan daging beku apabila disimpan
cukup lama akan meningkatkan jumlah drip (Soeparno, 1994). Pada perlakuan
masing-masing daging disimpan selama kurang lebih 24 jam yang merupakan masa
simpan yang cukup singkat. Untuk daging segar dingin beku kadar airnya yaitu
76,47% dan 82,69%. Rata-rata kadar air hampir mendekati kadar air daging segar.
Daging yang segar didinginkan kemudian dibekukan melalui pelayuan sehingga drip
yang hilang dapat ditekan. menurt Soeparno (1994), pelayuan sebelum pembekuan
juga cenderung menurunkan drip karena adanya perubahan hubungan ion protein,
yaitu adanya pembebasan ion sodium dan kalium.
Susut masak. persentase susut masak
untuk daging segar 1,52% dan 43,07%, daging dingin 42,64% dan 46%, daging beku
35% dan 33,3% serta daging segar dingin beku 46% dan 42,18%. Persentase susut
masak pada daging sapi yang diuji semuanya dalam kisaran normal. Ini sesuai
dengan yang dinyatakan oleh Soeparno (1992) bahwa cooking loss (susut masak )
umumnya bervariasi antara 1,5% sampai 54,5% dengan kisaran 15% sampai 40%.
Susut masak akan meningkat pada serabut otot yang lebih panjang. Pada suhu 600
C sampai 900 C akan banyak terjadi pengkerutan dan penurunan
diameter miofibril dan kehilangan karena pemasakan. Diatas temperatur 640 C
miofibril akan memendek, mencapai 30% dari panjang semula, pada suhu 900C
yaitu dengan hilangnya 70% isi airnya semula (Lawrie,1985).
Keempukan. Rata-rata keempukan
daging segar 7,6 dan 6,9, daging dingin 6,5 dan 6,5, daging beku 6,3 dan 5,3
serta daging segar dingin beku 6,4 dan 7,3. Diperoleh bahwa daging beku
mempunyai tingkat keempukan yang lebih tinggi daripada daging segar, dingin dan
segar dingin beku yang mana ini berkaitan dengan perlakuan atau metode pembekuan
seperti yang dikatakan Soeparno (1994) bahwa pembekuan cepat cenderung
meningkatkan keempukan daging, karena struktur saringan mengalami perubahan
misalnya denaturasi protein. pelayuan menurunkan daya putus Warner Blatzier
sehingga dapat meningkatkan keempukan daging (Bouton dan Harris, 1972).
Keempukan daging akan berkurang bila terjadi desikasi, terutama pada daging
beku yang kadar diproteksi secara baik, pH ultimat yang tinggi meningkatkan
keempukan daging. Menurut Lawrie (1985) pembekuan daging yang dilakukan pada
saat prerigor akan menyebabkan pemendekan otot dan menghasilkan jumlah drip
yang banyak sekitar 30-40% dari berat otot daging, karena aktivitas ATP-ase
masih berlanjut pada saat thawing. Aktivasi penurunan aktivitas ATP-ase sebelum
didinginkan mempengaruhi kualitas daging. Kejang yang cepat akan mengurangi
pengerutan dingin (cold shortening) yang menyebabkan drip banyak keluar dan
daging terasa alot (Buckle, 1983). Adanya proteksi pada otot miofibril selama
penyimpanan dingin akan meningkatkan keempukan, juga menurut Soeparno (1992),
otot mengandung enzim proteolitik. peningkatan keempukan daging selama proses
pendinginan, antara lain adalah karena kerja enzim-enzim proteolitik terhadap
protein fibrous otot, termasuk elemen-elemen kontraktil.
pH. pH daging segar rata-rata 5,56
dan 5,56, ph daging dingin 5,63 dan 5,62, pH daging beku 5,67 dan 5,69, pH
daging segar dingin beku 5,60 dan 5,61 pH ultimat daging normalnya 5,4-5,8
(Soeparno, 1994). pH yang diperoleh dari hasil praktikum termasuk pH ultimat
daging dan masih dalam kisaran normal. pendinginan akan mempengaruhi pH.
Perbedaan nilai pH antara daging prerigor dan postrigor ini terjadi karena
adanya glikolisis postmortem (Forrest et al.,1975) dan aktivitas mikrobia
(Lawrie, 1985) yang menyebabkan daging pada pembekuan lebih mampu
mempertahankan kondisi daging. Lama penyimpanan dan temperatur lingkungan dapat
menyebabkan perbedaan nilai pH antara daging prerigor dan postrigor, artinya
bila suhu rendah, laju penurunan pH akan berlangsung lambat (Soeparno,1994).
Daya ikat air. Hasil yang diperoleh saat praktikum ; daging segar 8,63 dan
8,04, daging dingin 50,59 dan 44,55, dagiong beku 49,73 dan 58,03 serta daging
segar dingin beku 51,83 dan 54,65. Menurut Wismer-Pedersen (1971), kisaran
normal daya ikat air antara 20% sampai 60%. Dari hasil yang diperoleh, DIA
untuk daging segar dibawah kisaran normal. Penurunan pH yang cepat, misalnya
karena pemecahan ATP yang cepat, akan meningkatkan kontraksi aktomiosin dan
menurunkan DIA protein. Penyimpanan yang terlalu lama juga akan menurunkan DIA
dan terjadinya perubahan struktur protein daging (Hamm,1975).
Warna.
Skor warna untuk daging segar adalah 3, daging dingin 2, daging beku 2, dan
daging segar dingin beku 2. warna daging menurut Lawrie (1985) sangat
tergantung pada pH. Ph ultimat yang tinggi akan meningkatkan keempukan,
tapi mengurangi warna dan flavour. Meniurut Forest et al.,(1975), discolorisasi
pada daging beku dapat terjadi karena evaporasi cairan dari permukaan daging,
dehidrasi permukaan daging dan aktivitas mikroorganisme.
Klasifikasi Daging Berdasarkan Sifat Fisis
Daging
Daging
didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan
jaringan-jaringan tersebut sesuai untuk di makan serta tidak menimbulkan
gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Organ-organ misalnya hati, ginjal,
otak, paru-paru, jantung, limpha, pankreas, dan jaringan otot termasuk dalam
definisi ini (Soeparno, 1994).
Berdasarkan
keadaan fisik, daging dapat dikelompokkan menjadi: 1) daging segar yang
dilayukan atau tanpa pelayuan, 2) daging segar yang dilayukan kemudian
didinginkan (daging dingin), 3) daging segar yang dilayukan, didinginkan,
kemudian dibekukan (daging beku), 4) daging masak, 5) daging asap, dan 6)
daging olahan (Soeparno, 1994).
Daging yang dikonsumsi dapat berasal dari sapi, kerbau,
babi, kuda, domba, kambing, unggas, ikan, dan organisme yang hidup di air atau
di air dan di darat, serta daging dari hewan-hewan liar dan aneka ternak. Di
Indonesia, daging yang banyak dikonsumsi adalah daging sapi, daging domba muda,
dewasa, atau tua, daging babi, dan daging kambing. Daging kuda juga dikonsumsi.
Daging-daging tersebut sering disebut daging merah, sedangkan daging unggas
yang paling banyak dikonsumsi adalah daging ayam. Daging itik dan angsa juga
termasuk daging unggas. Daging lainnya adalah daging yang berasal dari
hewan-hewan liar, misalnya daging kijang dan babi hutan. Daging yang berasal
dari organisme yang hidup di air yang paling banyak dikonsumsi dan tersedia
dalam jumlah besar adalah daging ikan. Daging-daging udang, kepiting, dan
kerang, juga dikonsumsi. Beberapa daging lainnya yang juga dikonsumsi adalah
daging yang berasal dari aneka ternak, misalnya daging kelinci, burung puyuh
dan merpati. Daging juga dapat diperoleh dari hasil budidaya bekicot dan
beberapa katak (judge et all, 1984).
Pendinginan Daging
Menurut Soeparno (1994)
menyatakan bahwa penyimpanan karkas atau daging pada temperature dingin,
meskipun dalam waktu yamg singkat diperlukan untuk mengurangi kontaminasi atau
untkuk menendalukan kerusakan dan mengendalikan kerusakan dan perkembangan
mikroorganisme. Kemungkinan kerusakan karkas atau daging selama penyimpanan
dingin dapat diperkecil dengan cara penyimpanan karkas yang belum dipotong-
potong.
Temperature internal karkas
setelah pemotongan biasanya berkisar antara 30ºC sampai dengan 39ºC, dan selama
proses pendinginan, temperature internal karkas ini harus diturunkan secepat
mungkin sampai lebih kurang 5ºC atau lebih rendah. Karkas sapi , babi,
domba dan anak sapi dapat didinginkan dengan penggantungan didalam ruang
pendingin pada temperature chilling antara - 4ºC sampai dengan 0ºC (judge et
all, 1984).
Pendinginan daging dingin sebaiknya dibatasi dalam waktu yang relative
singkat, karena adanya perubahan- perubahan kerusakan yang meningkjat sesuai
dengan lama waktu penyimp[anan. Factor yang mempengaruhi lama simpan daging
dingin antara lain: jumlah mikrobia awal, temperature dan kelembaban selama
penyimpanan, ada tidaknya pelindung (misalnya lemak atu kulit), spesies ternak
dalam ruang pendingin, dan tipe produk yang disimpan (Forrest et all, 1975).
Daging akan mendapatkan prubahan negative yang cukup cepat bula disimpan
dalam udara panas dari pada disimpan dalam udara yang lebih dingin (Lawrie, 1985). Pendinginan karkas dapat membantu menghilangkan
panas asal tubuh dan panas asal metabolisme lanjutan. Daging sapi setelah
mengalami pendinginan selama 12- 24 jsm dipindahkan kependinginyang memiliki
suhu 0ºC sampai dengan 3ºC samapi saat dilakukan pemotongan karkas primal, sub
primal dan deboning. Penurunan PH yang terlalu cepat dapat dicwgah dengan
pendinginan sehimgga rigormortis tidak berlangsung terlalu cepat (Judge et all,
1989). Prinsip pendinginan daging adalah penyimpanan daging pada suhu rendah yaitu sekitar 1- 3,5ºC (Buckle et all,
1978).
Pembekuan Daging
Pembekuan daging adalah suatu cara dari pendinginan daging yaitu dengan
pembekuan daging dibawah titik beku daging pada temperatur -2ºC sampai - 3ºC.
Proses pembekuan daging dapat menghambat pertumbuhan mikrobia, proses
hidrolisis, proses lipolitik dan sedikit proses oksidatif (Soeparno, 1992)
Penggunaan temperature pembekuan
perlu dipertimbangkan yaitu pada temperature mana proses enzimatis, oksidatif,
proteolitik dan aktivitas mikrobia dapt terhambat, sehingga kualitas daging
dapat dipertahankan dan akan menjamin kualitas daging beku yang dihasilkan. Selanjutnya dikatakan bahwa perubahan
kualitas daging beku sangat minimal pada temperature 18ºC (Soeparno, 1992).
Pembekuan
dgaing tanpa pengepak (pemukaan daging tanpa proteksi ) dapat menyebabkan
prmukaan daging sperti terbakar, daging berwarna keputih- putihan atau coklat
kekuning- kuningan, jernih yang disebut freezer burn atau terbakar beku.
Freezer burn disebabkan oleh sublimasi yaitu terbentuknya lapisan kondensasi
dari jaringan molecular didekat permukaan daging, sehingga mnecegah ekses air
dari dalam dan meningkatkan desikasi permukaan (Soeparno, 1992).
Menurut
bratzller et all (1977) menyatakan bahwa ada
babarapa metode pembekuan dagingyang dapat dipergunakan yaitu meliputi; (1)
metode udara diam yaitu menggunakan udara sebagai mediumtransfer panas serta
tergantung pada konveksi, dan daging akan membeku secara lambat. (2) pembekuan
plat yaitu menggunkan plat atau logam sebagai medium transfer panas. (3)
pembekuan cepat, metode ini menggunakan medium udara dingin dalam ruang atau
sarana lain seperti terowongan yang dilengkapi dengan kipas untuk menggerakkan
udara dingin secara cepat. (4) pencelupan pada cairan pembeku, dipergunakan
terutama untuk membekukan daging unggas. (5) pembekuan kriogenik dapat
mempergunakan salah satu system yaitu pencelupan langsung, pemercikan atau
penyemburan cairan atau sirkulasi uap agensia kriogenik yang berupa nitrogen
cair dan CO2
Pembekuan lambat pada suhu – 0,5ºC sampai dengan - 4ºC akan membenntuk
kristal es yang besar dan sebagian besar terbebtuk diluar serabut otot, sedang
pembekuan cepat terjadi pada suhu -4ºC yang akan menghasilkan kristal es yang
lembut dan terbentuk didalam serabut otot. Jika penurunan dari suhu pembekuan
sangat cepat akan terbentuk kristal es makroskopis yaitu kristal es yang sangat
kembut atu keci- kecil. Pembekuan
pada suhu - 18ºC sampai dengan - 15ºC lebih baik digunakan untuk daging sapi (Bratzller
et al., 1977).
Kerusakan Daging Selama Penyimpanan Beku
Faktor yang berhubungan dengan
kerusakan fisik atau kimiawi daging beku adalah: 1) sifat dan lokasi kristal es
yang terbentuk di dalam jaringan
otot, 2) kerusakan mekanik struktur selular karena perubahan volume, dan 3)
kerusakan kimiawi yang disebabkan oleh partikel terlarut, termasuk garam-garam
dan gula. Adanya partikel terlarut tersebut menyebabkan penurunan titik beku
daging (kira-kira adalah –2oC sampai –3oC (Soeparno,
1994).
Kehilangan
nutrien daging beku terjadi selama penyegaran kembali, yaitu adanya nutrien
yang larut dalam air dan hilang bersama cairan daging yang keluar yang lazim
disebut drip. Jumlah nutrien yang hilang dari daging beku bervariasi,
tergantung pada kondisi pembekuan dan penyegaran kembali, nutrien di dalam cairan
drip, antara lain terdiri atas bermacam-macam garam, protein, peptida,
asam-asam amino, asam laktat, purin, dan vitamin yang larut dalam air termasuk
vitamin B kompleks (Soeparno, 1994).
Pada
saat penyimpanan beku dapat terjadi perubahan protein otot. Jumlah konstituen
yang terkandung di dalam drip berhubungan dengan tingkat kerusakan sel pada
saat pembekuan dan penyimpanan beku (Soeparno, 1994).
Faktor yang mempengaruhi
jumlah drip, yaitu: 1) besarnya cairan yang keluar dari daging, dan 2) faktor
yang berhubungan dengan daya ikat air oleh protein daging (Soeparno, 1994). Laju pembekuan dan ukuran kristal es yang
terbentuk ikut menentukan jumlah drip. Pada laju pembekuan yang sangat cepat,
kristal es kecil-kecil terbentuk di dalam sel, sehingga struktur daging tidak
mengalami perubahan. Pada laju pembekuan yang lambat, kristal es mulai terjadi
di luar serabut otot, karena tekanan osmotik ekstraseluler berlangsung terus,
sehingga cairan ekstraseluler yang tersisa dan belum membeku akan meningkat kekuatan
fisiknya dan menarik air secara osmotik dari bagian dalam sel otot yang sangat
dingin. Air ini membeku pada kristal es yang sudah terbentuk sebelumnya dan
menyebabkan kristal es membesar. Kristal-kristal es yang besar ini menyebabkan
distorsi dan merusak serabut otot serta sarkolema (Soeparno, 1994).
Kerusakan
protein merupakan fungsi dari waktu dan temperatur pembekuan, dan jumlah drip
cenderung meningkat dengan meningkatnya waktu penyimpanan. Drip dapat
diperkecil dengan pembekuan cepat setelah pemotongan tanpa melalui pendinginan
(Soeparno, 1994). Pelayuan sebelum pembekuan juga cenderung menurunkan drip
karena adanya hubungan ion dan protein, yaitu adanya pembebasan ion sodium dan
kalsium, dan absorbsi ion ptasium oleh protein miofibril (Soeparno, 1994).
Selain itu, pH juga mempunyai pengaruh terhadap drip. Pada pH yang lebih
rendah, maka drip meningkat. Pada pH ultimat yang tinggi, drip hampir tidak
terjadi karena daya ikat air daging meningkat, meskipun laju pembekuan
berlangsung lambat (Soeparno, 1994).
MATERI DAN METODE
Materi
Karakteristik Daging
Praktikum pengamatan karakteristik daging
ini menggunakan materi berupa daging Sapi, Ayam, Babi, dan Daging Kuda.
Daging segar yaitu daging yang
meliputi daging sapi segar, plastic untuk membungkus daging selama pembekuan
diluar dan didalam freezer
Uji Kualitas Fisik
Materi
yang digunakan daging segar, daging dingin, daging beku dan daging segar dingin
beku, meat colour fan, pH meter, plat kaca, kertas saring, beban 35kg,
milimeter blok, penangas air, alat penguji keempukan daging.
Metode
Karakteristik Daging
Metode
yang digunakan dalam pengamatan karakteristik daging adalah dengan cara
pengamatan langsung, kemudian membedakan warna, bau, dan pengamatan seratnya.
Uji Kualitas Fisik
Uji Warna
Mencocokkan
warna sampel daging segar, daging dingin, daging beku, dan daging segar dingin
beku dengan meat colour fan.
Uji pH
Menimbang
masing-masing sampel seberat 10 gram, kemudian digiling dan ditambahkan 10 ml
aquadest, lalu diaduk sampi homogen. Kemudian diukur dengan phmeter dan
masing-masing dilakukan tiga kali,m kemudian hasilnya dirata-rata.
Uji Daya Ikat Air
Menimbang masing-masing sampel
seberat 0,3 gram kemudian diletakkan diantara plat kaca, dialasi kertas saring,
dan diberi beban 35 kg selama 5 menit. Kemudian area yang basah, yang terletak
di kertas saring dihitug dengan menggunkan milimeter blok sebagai luas area.
Uji Kadar Air Total
Menimbang
masing-masing sampel daging seberat 1 gram sebagai berat awal, dioven selama 1
malam. Kemudian berat akhir ditimbang. Kadar air total diperoleh dari berat
awal dikurangi berat akhir dan dibagi berat awal, kemudian dikalikan seratus
persen. Dan daya ikat air diperoleh dengan menghitung kadar air total dikurangi
kadar air bebas.
Uji Susut Masak
Memotong
daging searah serat sebanyak 20 gram. Kemudian masak menggunakan penangas air salama 30 menit, lalu didinginkan dengan air mengalir, dan berat akhir
ditimbang. Susut masak dapat diperoleh dengan menghitung berat awal dikurangi
berat akhir, dan dibagi berat awal.
Uji keempukan
Dengan
memotong searah serat sampel daging dari uji susut masak, dengan ukuran setebal
0,67 cm dan lebar 1,5 cm. Kemudian sampel diletakkan di alat penguji keempukan
daging. Pengujian dilakukan di tiga bagian kemudian hasilnya dirata-rata.
Pendinginan daging.
Daging sapi segar yang telah
dipotong besar dimadukkan kedalam refrigerator selama semalam. Kemudian
dikeluarkan dan ditimdang.
Pembekuan daging.
Daging sapi yang didinginkan,
dikeluarkan, kemudian ditimbang . setelah itu dipotong kecil- kecil, dibungkus
dengan plastic untuk kemudian disimpan dalam freezer selam semalam kemudian
dikeluarkan dan ditimbang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Daging
Daging sapi
Pada
pengamatan danging sapi, warna daging sapi memperoleh skor 6 berdasarkan meat
caloor fan yaitu berwarna lebih merah dibanding dengan daging lain karena
konsentrasi myoglobin yang besar bila dibanding daging ternak lain. bau daging
sapi menunjukkan bau yang khas yaitu bau amis, berdasarkan daging sapi
menunjukkan bau yang khas yaitu sehingga dapat dibedakan dengan ternak lain.
Struktur
serat pada pengamaan daging sapi ini terlihat jelas dan besar dengan lemak
intra maskuler yang tersebar tidak merata. Daging sapi yang mengandung banyak
lemak memberikan kehalusan yang baik pada serat daging menyebabakan mudah
dipotong.
Daging babi
Daging
babi pada pengamatan ini punya warna yang pucat, hal ini dipengaruhi oleh lemak
yang tebal dan jenis pakan yang mempengaruhi warna dan aroma daging. Daging
babi ini punya lemak intramuskular yang banyakdan merata dengan serat yang
halus hal ini disebabkan karena babi merupakan jenis ternak non ruminansia yang
mempengaruhi kandungan lemak yang banyak sehingga membuat strutur dagingnya
halus (Lawrie, 1985).
Lawrie(1985) menambahkan bahwa
rendahnya kadar mioglobin pada urat daging babi menyebabkan warna pucat pada
daging tersebut..
Daging ayam
Daging
ayam yang diamati hampir sama dengan daging babi yaitu memiliki struktur serat
yang halus dan lemak intramuskuler yang tersebar merata, tetapi daging ayam
mempunyai aroma yang lebih segar dibanding daging babi.
Pada
bagian paha dan sayap daging ayam warnanya lebih merah, ini dikarenakan
kandungan mioglobinnya yang lebih banyak. (Lawrie,1985)
Daging kuda
Daging kuda yang diamati berwarna merah gelap bahkan agak keunguan.Hal
ini dibenarkan oleh Soeparno (1992) yang menyatakan bahwa Daging kuda sering
disebut sebagai daging merah. Pada daging kuda juga
seratnya terlihat lebih besar , kuat dan kasar jika dibandingkan dengan daging
yang lainnya. Lawrie (1995) menegaskan bahwa terdapat aktivitas enzim sitokrom
oksidase yang mengia pada urat daging kuda sehingga jelas akan memperlihatkan
kekuatan.Daging kuda dapat diterima dengan baik walaupun warnanya yang gelap
kurang disukai, selain itu daging kuda juga dapat dijadikan sebagai alternatif
sumber protein daging. Menurut Judge et al (1989), menambahkan bahwa daging
kuda punya susunan protein sebesar 28 % dan kadar air pada otot 66%.
Parameter Spesifik Kualitas Daging
Klasifikasi Daging Berdasarkan Sifat Fisis
Daging
Kategori daging/klasifikasi daging
berdasarkan keadaan fisik, dapat dikelompokkan menjadi: 1) daging segar yang
dilayukan atau tanpa pelayuan, 2)
daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin), 3) daging segar
yang dilayukan, didinginkan kemudian dibekukan (daging beku), 4) daging masak,
5) daging asap, 6) daging olahan. Di Indonesia, daging yang banyak dikonsumsi
adalah daging sapi, daging domba, daging babi, daging kambing, dan daging kuda
(Soeparno, 1994).
Pada praktikum yang telah
dilaksanakan, jenis daging yang digunakan adalah daging segar, daging dingin,
daging beku, dan daging segar dingin beku dari ternak ayam dan sapi.
Daging segar yang telah mengalami
proses pelayuan, biasanya terjadi peningkatan keempukan dan flavour daging.
Data yang diperoleh pada waktu praktikum untuk keempukan daging, menunjukkan
bahwa tingkat keempukan daging segar lebih tinggi dibanding dengan daging
dingin, daging beku, dan daging dingin beku, baik untuk daging ayam ataupun
sapi.
Daging segar yang telah mengalami
proses pelayanan, biasanya terjadi peningkatan keempukan dan flavour daging.
Data yang diperoleh pada waktu praktikum untuk keempukan daging, menunjukkan
bahwa tingkat keempukan daging segar lebih tinggi dibanding dengan daging
dingin, daging beku, dan daging dingin beku, baik untuk daging ayam ataupun
sapi.
Daging dingin sangat memungkinkan
tumbuhnya mikroorganisme, tapi dapat diperkecil dengan cara penyimpanan berkas
dalam bentuk yang belum dipotong-potong. Faktor yang mempengaruhi kualitas
daging dingin antara lain kapasitas panas, berat karkas (daging), jumlah lemak
eksternal, temperatur, dan jarak antara karkas (daging). Pendinginan dengan
perantaraan udara dingin dapat menyebabkan dehidrasi, khususnya pada karkas
unggas (Soeparno, 1994). Data yang diperoleh selama praktikum, menunjukkan
bahwa daging dingin memiliki luas area yang hampir sama dengan daging beku dan
daging segar dingin beku.
Penyimpanan daging beku, bisa
mengakibatkan penurunan daya terima bau dan flavour. Sedangkan nilai nutrisi
daging secara relatif tidak mengalami perubahan.
Pendinginan Daging
Pembekuan Daging
Kerusakan Daging Selama Penyimpanan Beku
Penyimpanan beku bertujuan untuk mengawetkan daging atau daging proses
dari aktivitas mikrobia maupun enzimatis lain. Pembekuan cepat cenderung meningkatkan keempukan daging karena struktur
jaringan mengalami perubahan, misalnya denaturasi protein. Keempukan dan jus
daging akan berkurang bila terjadi desikasi, terutama pada daging beku yang
tidak diproteksi secara baik. Pada praktikum yang telah dilakukan, diperoleh
data bahwa keempukan daging segar dingin beku lebih rendah dibanding dengan
sampel daging segar, gading dingin, ataupun daging beku.
pH
ultimat yang tinggi meningkatkan keempukan, tetapi mengurangi warna dan
flavour. pH mempunyai pengaruh terhadap drip. Pada pH yang lebih rendah, drip
akan meningkat. Pada pH ultimat yang tinggi, drip hampir tidak terjadi karena
daya ikat air daging meningkat, meskipun laju pembekuan berlangsung lambat.
Data yang diperoleh dari uji pH daging adalah rata-rata 5,56 dan 5,56 untuk
daging segar; 5,63 dan 5,62 untuk daging dingin; 5,67 dan 5,69 untuk daging
beku; 5,60 dan 5,61 untuk daging segar dingin beku; dan 5,72 dan 5,70 untuk
daging ayam.
Banyak
faktor yang mempengaruhi warna daging, dan yang dapat mempengaruhi penentu
warna daging yaitu konsentrasi pigmen daging dan mioglobin. Pada umumnya, makin
bertambahnya umur ternak, konsentrasi mioglobin makin meningkat, tetapi
peningkatannya tidak konstan. Pada praktikum yang telah dilakukan, skor warna
untuk daging segar adalah 3, dan untuk daging dingin, beku, segar dingin beku
adaah 2.
Penurunan
daya ikat air (DIA) dapat diketahui dengan adanya eksudasi cairan yang disebut
weep pada daging mentah yang belum dibekukan atau drip pada daging mentah beku
yang disegarkan kembali atau kerut pada daging masak. Data yang
diperoleh adalah 8,63% dan 8,04% untuk daging sapi segar; 50,59% dan 44,55%
untuk daging sapi dingin; 49,73% dan 58,03% untuk daging sapi beku; 51,83% an
54,65% untuk daging sapi segar beku; dan 8,57% dan 17,6% untuk daging ayam.
DAFTAR PUSTAKA
Bouton, P.E.
dan Harris, P.V. 1972. J. Food Sci. 37, 218.
Bratzler, L.J., Gaddis, A.M., dan Sulzbacher, W.L. 1977. Fundamentals
of Food Frezzing. Ed. N.W. Desrosier dan D.K. Tressler. Avi Publishing Company.
Inc., Wesport, Connecticut.
Buckle, J.W. 1983. Animals Hormones. Studies in Biology No. 158.
Edward Arnold. London.
Forrest, J.C., Aberle, E.B., Hedrick, H.B., Judge, M.D., dan Merkel, R.A.
1975. Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Company.
Hamm, R. 1975. Meat. Ed.
D.J.A. Cole dan R.A Lawrie. Applied Sci., London.
Hal 93.
Judge, M.D. Aberle, E.D., Cross, H.R., dan Schanbacher, B.D. 1984. J.
Anim. Sci. 59, 706.
Judge, M.D., Aberle, E.B., Forrest, J.C., Hedrick, H.B., and Merkel,
R.A. 1989. Principles Of Meat Science. 2nd ed. Kendall/Hunt
Publishing Company, Dubuque, Iowa.
Lawrie, R.A.
1979. Meat Science. 3rd ed. Pergamon Press.
Lawrie, R.A.
1985. Meat Science. 4th ed. Pergamon Press.
Swatland, H.J. 1984. Structure and Development of Meat Animals.
Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, New York.
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada
University Press.
Yogyakarta.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. 2nd ed. Gadjah Mada
University Press.
Yogyakarta.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. 3rd ed. Gadjah Mada
University Press.
Yogyakarta.
Wismer-Pedersen, J. (1971). The Science Of Meat and Meat Products. 2nd
ed. J.F. Price dan B.S Schweigert. W.H. Freeman and Co., San Fransisco.
Comments
Post a Comment