BPFR (Bahan Pakan dan Formulasi Ransum)
Bahan Pakan
Pakan adalah
segala sesuatu yang dapat dimakan oleh ternak dalam bentuk dapat dicerna
sebagian atau seluruhnya dengan tidak mengganggu kesehatan pemakannya (Lubis,
1992).
Pakan ternak ruminansia pada dasarnya terdapat dua
golongan yaitu hijauan dan konsentrat. Hijauan adalah pakan yang mengandung
serat kasar tinggi sedang konsentrat mempunyai kadar serat yang lebih rendah
namun mudah dicerna, mengandung protein yang tinggi sehingga nilai gizinya
lebih tinggi dibandingkan dengan hijauan (Williamson dan Payne, 1993).
Kebutuhan pakan terkait dengan jenis ternak, umur
ternak, dan tingkat produksi. Konsumsi bahan kering (DW) pakan ditentukan oleh
tubuh ternak. Macam ransum, umur, lingkungan, kondisi ternak, defisiensi
nutrien tertentu (Tillman, 1998).
Hijauan
Makanan hijauan atau hijau-hijauan adalah bahan
makanan dalam bentuk daun-daunan kadang masih bercampur dengan batang, ranting,
serta kembang-kembangnya, umumnya berasal dari tanaman sebangsa rumput yang
diberikan kepada ternak dalam keadaan masih segar, warna masih hijau dan masih
banyak mengandung air yaitu rata-rata 70-80 % air, sisanya yang 20-30 % adalah
bahan kering (Lubis, 1992).
Rumput mengandung semua zat-zat makanan seperti
air, lemak, bahan ekstrak tanpa N, serat kasar, mineral dan vitamin. Rumput
dapat dijadikan bahan pakan sempurna jika memenuhi syarat yaitu mempunyai
manfaat tinggi sebagai bahan makanan
yang dapat dicerna oleh alat pencernaan, dan tersedia dalam keadaan cukup
(Lubis, 1992).
Hijauan dapat didefinisikan sebagai bahan pakan
dalam bentuk dedaunan, kadang masih bercampur dengan batang, ranting, dan kembang
dan umumnya berasal dari tanaman sebangsa rumput dan diberikan kepada ternak
dalam keadaan segar, baik dalam keadaan yang ada di lapangan maupun
dipotong-potong. Hijauan biasanya diperuntukan bagi ternak yang bersifat bulky
atau sebagai pengenyang dan mempunyai bobot yang ringan per unit volume, dan
kandungan dinding selnya tinggi (25-30 % dalam bahan kering ) (Bondi, 1987).
Rumput
Rumput
merupakan hijauan dengan sistematika phillum Spermatophyta; sub phillum Angiospermae, Classis Monocotyledoneae, Ordo Glumiflora, Familia Graminae, Sub familia Panicoideae (Reksohadiprojo, 1985).
Rumput gajah (Pennisetum purppureum).
Sistematika rumput gajah
menurut Soedomo Reksodiprojo (1985) adalah berasal dari phillum Spermatophyta,
Sub fillum Angiospermae, Classis Monocotyledoneae, Ordo Glumiflora, Familia Graminae,Sub
familia Panicoideae, Genus Pennisetum dan Spesies Pennisetum purpureum.
Pennisetum purpureum mempunyai istilah berbeda di
setiap negara. Inggris menyebutnya Elephant grass, Napier grass dan Uganda
grass. Spanyol dikenal dengan nama Pasto elefante. Sedangkan
Indonesia terkenal dengan sebutan rumput gajah (Reksohadiprodjo, 1985).
Rumput gajah berasal
dari Afrika daerah tropik, parennial, dapat tumbuh setinggi 3 sampai 4,5
meter, bila dibiarkan tumbuh bebas, dapat setinggi 7 meter, akar dapat sedalam
4,5 meter. Berkembang dengan rhizoma yang dapat sepanjang 1meter. Panjang daun
16 sampai 90 cm dan lebar 8 sampai 35 mm (Reksohadiprodjo, 1985). Sebagai jenis
ang alami pada daerah basah, di Asia Tenggara dipanen oleh para petani dengan
cara memotong seluruh pohonnya dan diberikan sepada ternak khususnya kerbau dan
sapi, baik sapi paran (diikat) atau sapi yang dikandangkan (Monnetje dan Jones,
2000).
Rumput gajah merupakan
tumbuhan yang memerlukan hari dengan siang hari yang pendek dengan fotoperiode
kritis antara 12-13 jam. Namun kelangsungan hidup serbuk sari sangat kurang dan
barangkali inilah penyebab utama dari penentuan biji yang lazimnya buruk. Di
samping itu kecambahnya lama dan lemah. Oleh karena itu rumput ini ditanam
secara vegetatif. Jika ditanam dengan kondisi yang baik, bibit vegetatif akan
tumbuh dengan cepat dan akan mencapai ketinggian beberapa meter dalam waktu dua
bulan (Mannetje dan Jones, 2000).
Nilai pakan pada rumput
gajah dipengaruhi oleh perbandingan jumlah daun terhadap batang dan umurnya.
Kandungan nitrogen dari hasil penen yang diadakan secara teratur berkisar
antara 2-4 %. Daun-daun muda nilai konsumsinya diperkirakan 70%, tetapi angka
ini menurun drastis setelah berumur (tua). Untuk mendapatkan hasil dan
ketahanan yang tinggi, rumput ini ditanam dengan pengairan yang teratur dan
pemupukan yang cukup, dan pembuangan nutrien setiap bahan kering adalah
nitrogen 10-30 kg, fosfat 2-3 kg, kalium 30-50 kg, kalsium 3-6 kg, magnesium
dan sulfur 2-3 kg (Mannetje dan Jones, 2000).
Komposisi kimia Pennisetum
purpureum yaitu: kadar abu 15,4%; kadar ekstrak eter (EE) 2,3%; kadar serat
kasar (SK) 33,1%; kadar BETN 40,0%; kadar protein kasar (PK), bahan kering
segar (BK) 28%; bahan kering (BK) kering 86% (Hartadi et al., 1997).
Rumput raja (Pennisetum purporoides).
Rumput raja merupakan hasil hibrida antara pennisetum purpureum dengan pennisetum
typoidea. Sehingga sistematika rumput raja memiliki kesamaan pada rumput
gajah. Menurut Reksodiprojo (1985) adalah berasal dari phillum Spermatophyta,
Sub fillum Angiospermae, Classis Monocotyledoneae, Ordo Glumiflora,
Familia Graminae, Sub familia Panicoideae, Genus Pennisetum
dan Spesies Pennisetum purporoides.
Rumput raja dapat tumbuh
baik pada tanah yang subur dengan curah hujan rata-rata 1000 mm per tahun dan
dapat tumbuh baik pada tanah yang berat dengan kemampuan menahan air yang
tinggi (Anonimous, 1983).
Komposisi kimia Pennisetum
purpuroides yaitu: kadar ekstrak eter (EE) 1,4%; kadar serat kasar (SK)
35,4%; kadar protein kasar (PK) 7,8%; bahan kering (BK) 21% dan energi (ME) 1,77% (Harris et al.,1982).
Rumput raja lebih unggul
daripada rumput gajah karena memiliki tunas yang lebih banyak, produksi bahan
kering yang lebih tinggi, produksi serat batang rendah dan dapat dipotong pada
tingkat pertumbuhan yang lebih muda (Mathius, 1992).
Rumput
sudan (Sorghum sudanense). Rumput sudan ini berasal dari Sudan, dapat tumbuh pada
tanah yang bervariasi pada musim semi yang panas, dengan curah hujan yang cukup
dan dapat pula di tanah kering serta penyebarannya yang luas (Reksohadiprodjo,
1985).
Rumput sudan memiliki sufat tumbuh yang lurus
keatas, dalam keadaan normal tingginya sampai 1,5 meter dengan perakaran luas
dan mudah membentu tunas-tunas baru (Susetyo et al., 1969). Reksohadiprodjo (1985), menyatakan bahwa rumput
sudan termasuk jenis rumput yang berumur pendek (annual) dan pemotongan dapat
dilakukan 2 sampai 4 kali dalam setahun. Dapat dipotong atau disenggut ternak
bila tingginya mencapai 40 sampai 60 cm. Produksi biji tinggi, kecuali di
daerah lembab. Perbanyakan tanaman
dengan biji dilakukan dengan penyebaran atau penanaman biji dengan baris-baris
yang setiap ha lahan memerlukan biji seberat 10-35 kg.
Klasifikasi taksonomi rumput sudan adalah :
Kingdom : Plantae
Phylum : Angiospermae
Classis : Monocotyledonae
Ordo : Gluminifora
Familia : Gramineae
Sub
familia : Panicoideae
Tribus : Paniceae
Genus : Sorghim
Species : Sorghum
sudanense
(Reksohadiprodjo,
1985).
Tanaman sorghum merupakan tanaman tahan kering dan
lambat masak, memiliki biji kecil, sehingga untuk mendapatkan pencernaan yang
baik dalam saluran pencernaan hendaknya dipecah terlebih dahulu atau
menggilingnya untuk meningkatkan daya guna sebanyak 62 %.
Analisa kandungan nutrien pada rumput sudan
meliputi 14,2 % protein kasar (PK), 30,3 % serat kasar (SK), 43,6 % bahan
ekstrak tanpa nitrogen (BETN), 47% lemak kasar dan 7,2 abu (Susetyo et al., 1969). Rumpus sudan memiliki
potensi yang baik untuk ditingkatkan produktivitasnya, maka perlu pengolahan
dalam penanaman dan pemanfaatannya sebagai pakan ternak.
Leguminosa
Sistematika tanaman legum menurut Reksohadiprojo (1985) adalah
sebagai berikut: tanaman legum berasal dari Divisio Spermatophyta, Sub
divisio Angiospermae, Classis Dicotyledoneae, Ordo Rosales,
Sub ordo Rosinae, Familia Leguminosa, Familia leguminosa dibagi
menjadi tiga sub Familia yaitu sub Familia Papilionaceae (Faboideae),
Mimosaceae (Mimosoideae) dan Caesalpiniaceae (Caesalpinioideae).
Daun Leucaena leucocepala (petai
cina, lamtoro). Lamtoro merupakan salah satu jenis legum yang
hanya dijumpai di daerah tropis dan sangat potensial sebagai pakan ternak. Hal
ini dikarenakan tanaman lamtoro mempunyai sifat cepat tumbuh, kuat, tahan
kering dan dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang kurang subur, palatabel
dan produksinya tinggi (Rusmiati, 1994).
Tepung daun lamtoro sangat baik untuk bahan pakan ternak karena produksi
bahan kering dan protein kasar cukup tinggi, kaya vitamin A dan kecernaan bahan
keringnya tinggi (Soejono, 1983). Pemanfaatan lamtoro untuk makanan ternak
dibatasi adanya senyawa beracun yang dikenal dengan nama mimosin. Racun
ini dapat menyebabkan kerontokan bulu dan menghambat pertumbuhan ternak
(Anonimous, 1983).
Kandungan mimosin lamtoro dapat
dikurangi, diantaranya pemisahan daun lamtoro dengan bijinya dan penggilingan
daun lamtoro, sehingga akan menghasilkan tepung daun lamtoro dengan kadar mimosin rendah (Tangenjaya et al., 1983). Menurut Utomo (1996),
tepung daun lamtoro adalah daun lamtoro yang dibuat tepung dengan cara
penumbukan atau penggilingan daun lamtoro yang telah dikeringkan.
Komposisi kimia daun lamtoro menurut Hartadi et al. (1990) adalah 85% BK; 23,7% PK; 18% SK; 5,8% EE; 6,3% abu;
46,2% BETN dan 71% TDN.
Konsentrat
Tillman et al. (1991) mengatakan
konsentrat adalah bahan pakan yang sedikit mengandung serat kasar, banyak
mengandung BETN dan sangat mudah dicerna. Konsentrat dapat pula diartikan
sebagai bahan pakan penguat yang dipergunakan bersama bahan pakan lain untuk
meningkatkan keserasian gizi.
Onggok (Cassava pomece atau Manihot esculata).
Merupakan hasil sampingan pembuatan tepung tapioka yang berasal dari ketela
pohon (Lubis, 1963, yang disitasi oleh Hariyanti, 1983). Menurut Hariyati
(1983), onggok atau ampas cassava merupakan hasil samping dari pembuatan
tepung tapioka dengan susunan gizi 32% BK; 2,4% PK; 84% ETN; 2,5% SK dan 5%
abu, sehingga onggok dalam pemakaian sebagai campuran dalam pakan perlu diingat
akan bentuk fisiknya, oleh karena itu bentuk fisik dari onggok ini halus dan
berdebu, maka untuk memperbaiki fisik onggok tersebut dapat dicampur
dengan molasses (tetes) sehingga merupakan campuran onggok-tetes, selain
itu juga menaikkan palatabilitas.
Sitematika dari cassava adalah berasal dari Divisio Spermatophyta,
Sub Divisio Angiospermae, Classes Synpetalae, Ordo Solanaceae,
Famillia Euphorbiceae, Genus Manihot dan Spesies Manihot
esculata (Kay, 1973, disitasi oleh Hariyanti, 1983).
Cassava atau tapioka dapat digunakan sebagai bahan pakan sumber
energi bagi ternak, karena mengandung nilai metabolic
energy yang cukup tinggi dan banyak terdapat di Indonesia, namun perlu
diketahui bahwa bahan pakan ini mempunyai kadar protein asam amino essensial
dan vitamin yang rendah dan adanya racun HCN yang dapat menyebabkan keracunan
pada ternak (Vogt, 1969, disitasi oleh Hariyanti, 1983).
Ada dua macam varietas cassava, yaitu varietas
manis dan varietas pahit, dimana varietas pahit mengandung Glycosida linamarin lebih
tinggi daripada varietas manis. Cassava dapat dihindarkan racunnnya
dengan jalan menghilangkan kulitnya, lalu dimasak atau dijemur pada panas
matahari (Gohl, 1981, disitasi oleh Hariyanti, 1983).
Komposisi kimia daun cassava menurut Hartadi et al (1990) adalah 26 % BK; 20,0 % PK; 21,2 % SK; 3,8 % EE; 10,8 %
abu; 44,2 % BETN dan 71 % TDN
Jenjet jagung.
Jenjet jagung merupakan hasil sampingan dari biji jagung. Biji jagung sendiri
merupakan pakan yang baik sekali dan memiliki nilai gizi tinggi sehingga
disebut The King of Sereal atau Golden Brain. Beberapa sifat jagung
yaitu palatabilitas serat kasar rendah dan kecernaan (TDN) tinggi
mencapai 80% (Zuprizal dan Kamal, 1998).
Jenjet jagung yang merupakan hasil
sampingan penggilingan jagung atau lebih dikenal dengan dedak jagung juga
merupakan bahan pakan yang baik untuk lemak (Ensminger, 1980), kandungan
nutrientnya PK 9,7 %; lemak 7,3 %; serat kasar 9,2 %; TDN 69,9 %; Ca 0,03 % dan
P 0,2 %, sedangkan menurut Hartadi et al
(1997) dedak jagung punya kadar BK 86 %; abu 3,3 %; EE 6,9 % dan ETN 61,8 %.
Pollard.
Meskipun secara umum pollard dimasukkan dalam kategori sumber energi namun pollard
juga mengandung protein cukup tinggi.
Kadar zat makanan pollard yaitu protein 15 %, 1350 kcal/kg
metabolik energi, 10 % serat kasar dan 4 % lemak (Rasyaf, 1994).
Parakkasi (1986) mengemukakan
bahwa kualitas pollard dapat berperan sebagai bulky (pengenyang)
dua kali lipat dari obat dan bersifat merangsang nafsu makan.
Bungkil kedelai. Bungkil kedelai adalah produk samping dari industri
pengolahan minyak kedelai yaitu suatu masa yang tersedia setelah minyak
diambil. Menurut Perry (1984) berdasarkan metode pembuatannya terdapat dua tipe
bungkil kedelai kedelai yaitu bungkil kedelai yang diperoleh dari biji kedelai
yang telah dipisahkan dari kulit bijinya (Soy bean meal dehulled) dan
bungkil kedelai yang kulit bijinya ditambahkan kembali (Soy bean meal
regular), sehingga kualitas bungkilnya berbeda menurut metode pembuatannya.
Biji kedelai adalah biji-bijian yang tertinggi kandungan proteinnya, yaitu ±
42 %. Sewaktu panen biji kedelai masih cukup tinggi kandungan airnya, oleh
karena itu perlu diturunkan lagi kandungan airnya (<15 %) agar dapat tahan
lama disimpan. Bila digunakan sebagai bahan pakan perlu digiling terlebih
dahulu agar mudah dicampur dengan bahan pakan butir-butiran yang juga sudah
digiling. Bagi ternak ruminansia, penggunaan biji kedelai tidak diperlakukan
terlebih dahulu, tetapi bagi ternak non ruminansia (babi muda dan unggas) perlu
adanya perlakuan pemanasan pada suhu 115 oC selama 10 menit agar
antikualitas (anti tripsin atau trypsin inhibitor) yang disebut soyin
menjadi tidak aktif, sehingga tidak mengganggu proses pencernan protein (Kamal,
1998).
Menurut Kamal (1998) bungkil kedelai adalah salah satu bahan pakan
konsentrat protein nabati yang sangat baik. Kandungan asam amino esensialnya
mendekati asam amino esensial dari protein susu, glisinnya cukup tinggi kecuali
metionin dan lisinnya rendah, sumber vitamin B kecuali vitamin B12
yang sangat rendah yaitu tidak seperti terkandung di dalam konsentrat protein
hewani. Sebagai standar, bungkil kedelai mengandung protein kasar 50 % untuk
yang berasal dari kedelai tanpa kulit biji sebagai pakan ayam pedaging dan 44 %
untuk yang berasal dari kedelai yang masih mengandung kulit biji digunakan
untuk pakan babi. Kelebihan bungkil kedelai sebagai ransun adalah kecernaan
tinggi, bau sedap dan menaikkan palatabilitas ransum.
Analisis Proksimat
Analisis proksimat merupakan dasar analisis kimia
yang dilakukan setiap hari dari pakan, jaringan tubuh, feces, maupun ekskreta
yang diantaranya berguna untuk menentukan estimasi nilai kecernaan dan manfaat
pakan, juga untuk menentukan standar untuk semua jenis ternak (Kamal, 1994).
Cara ini dikembangkan dari Weende Experiment
Station Jerman oleh Henneberg dan Stokman pada tahun 1865, yaitu metode
analisis yang menggolongkan komponen yang ada pada makanan. Analisis ini
didasarkan atas komposisi susunan kimia dan kegunaannya (Tillman et al., 1998).
Berdasarkan analisis proksimat dapat diketahui
adanya enam fraksi yaitu air, abu, protein kasar, serat kasar, lemak kasar
(ekstrak ether), dan ekstrak tanpa nitrogen (Kamal, 1994).
Untuk pertumbuhan, produksi, reproduksi dan hidup
pokok, hewan memerlukan zat gizi. Makanan ternak berisi zat gizi untuk
keperluan kebutuhan energi dan fungsi-fungsi tersebut diatas, akan tetapi
kandungan zat gizi tersebut pada masing-masing pakan ternak adalah
berbeda-beda. Nomenklature Internasional telah membagi makanan ternak menjadi 8
kelas yaitu forages kering dan roughage, pastura (hijauan) ramban, silase,
bahan pakan sumber energi , bahan pakan sumber protein, bahan pakan sumber
mineral, bahan pakan sumber vitamin, dan makanan aditif (Tillman et al., 1998).
Air
Air adalah makanan yang paling sederhana namun
sukar penentuannya dalam analisis proksimat. Penentuan kadar air dilakukan
dengan pemanasan 1050 C secara terus-menerus sampai sampel bahan
beratnya tetap (konstan) (Tillman et al.,
1991). Kamal (1998), berpendapat bahwa air adalah semua cairan yang menguap
pada pemanasan selama beberapa waktu pada suhu 105-1100C, dengan
tekanan udara bebas sampai sisanya yang tidak menguap mempunyai bobot tetap.
Penentuan kandungan air suatu bahan sebenarnya bertujuan untuk menentukan kadar
bahan kering dari suatu bahan.
Kadar air bahan pakan bervariasi, kandungan air
tersebut penting sekali manfaatnya, terutama dalam membandingkan dalam analisis
fraksi-fraksi bahan pakan yang berbeda. Setelah melalui analisis, kadar air
dapat diketahui kemudian komposisi bahan pakan diekspresikan ke bahan kering
(Bondy, 1987). Cara mendapatkan kadar air atau persen air yakni sampel bahan
pakan ditimbang, diletakkan dalam cawan khusus dan dipanaskan dalam oven
105-1100C. Pemanasan berjalan hingga sampel tetap bobot atau
beratnya, setelah pemanasan tersebut sampel makanan disebut sampel bahan kering
dan pengurangannya dengan sampel bahan pakan tadi disebut persen air atau kadar
air (Tillman, 1991).
Abu
Abu adalah sisa pembakaran sempurna dari suatu
bahan apabila dibakar sempurna pada suhu 550-6000C selama beberapa
waktu maka semua senyawa organiknya akan terbakar menjadi CO2 dan H2O
dan gas lain yang menguap. Sedang
sisanya yang tidak menguap itulah yang disebut abu atau abu adalah campuran
dari berbagai oksida mineral sesuai dengan macam mineral yang terkandung dalam
bahannya (Kamal, 1994). Menurut Tillman et
al. (1991), komponen abu pada analisis proksimat tidak memberikan nilai
makanan yang penting. Jumlah abu penting untuk menentukan BETN. Kombinasi
unsur-unsur mineral dalam bahan pakan dari tanaman bervariasi dan pada hewan
dapat digunakan sebagai indeks untuk kadar kalsium dan fosfor.
Mineral yang terdapat dalam abu dapat berasal dari
senyawa organik, misalnya fosfor yang berasal dari protein. Disamping itu
terdapat mineral yang menguap sewaktu pembakaran seperti Natrium (Na), Klor
(Cl), Kalium (K), Phosphor (P), dan belerang (S), karena itu abu tidak dapat
menunjukkan adanya zat organik di dalam pakan secara tetap. Baik secara
kualitatif maupun kuantitatif.
Protein Kasar
Protein kasar adalah senyawa organik gabungan dan
asam-asam amino yang dikaitkan dengan ikatan peptida dan terdiri dari unsur
C,H,O,N dan memiliki berat molekul tinggi (Kamal, 1998).
Tujuan utama protein digunakan pembentukan bio
molekul dari pada sumber energi. Namun demikian apabila mikroorganisme kekurangan
energi maka protein dapat pula digunakan sebagai sumber energi. Kandungan
energi protein rata-rata 4 kkal/ gram atau setara dengan kandungan energi
karbohidrat (Sudarmadji, 1989).
Antara tanaman satu dengan yang lain bisa
bervariasi nilai proteinnya, hal ini disebabkan oleh spesies tanaman itu
sendiri, umur dan bagian tanaman, kelembaban, keadaan tanah dan faktor luar
lainnya (Kamal, 1994).
Protein kasar didapatkan dari nilai bagi hasil dari
total nitrogen dengan faktor 16% atau hasil kali dari total nitrogen ammosia
dengan faktor 6,25 (100/ lt) (Kamal, 1994). Menurut Anggorodi (1985), prinsip
yang dipakai dalam penetapan kadar protein kasar adalah asam sulfat pekat
dengan katalisator CuSO4 atau K2SO4 dapat
memecah ikatan N organik menjadi (NH4)2SO4 kecuali
ikatan N=N, NO, dan NO2. (NH4)2SO4
dalam suasana basa akan melepaskan NH3 yang kemudian dititrasi
dengan HCl 0,1 N.
Tillman (1991), menyatakan bahwa analisis bahan
pakan ternak dipakai istilah protein kasar, protein murni, dan non protein
murni (NPN). Senyawa NPN adalah senyawa bukan protein. Termasuk dalam NPN
adalah asam-asam amino, nitrogen lipid, amin-amin, amida-amida, alkohol, dan
lain-lain.
Serat Kasar
Serat kasar
adalah semua senyawa organik yang terdapat dalam bahan pakan yang
kecernaannya rendah, sedangkan dalam analisis proksimat serat kasar adalah
semua senyawa organik yang tidak larut dalam perebusan dengan larutan H2SO4
1,25 % (0,255 N) dan pada perebusan dengan larutan NaOH 1,25 % (0,313 N) yang
berurutan masing-masing selama 30 menit. Di dalam perebusan tersebut semua
senyawa organik akan larut kecuali serat kasar dan beberapa macam mineral.
Ampas hasil saringan bila dibakar sempurna maka serat kasarnya akan menjadi abu
atau campuran oksida mineral (Kamal, 1994).
Tanaman tua mengandung serat kasar yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan tanaman yang lebih muda. Pada umumnya kadar
serat kasar tanaman makin tinggi, proses pencernaannya makin lama dan nilai
energi produktifnya makin rendah (Tillman et
al., 1991).
Lemak Kasar
Lemak kasar
adalah campuran beberapa senyawa yang larut dalam pelarut lemak (ether,
petroleum benzena, petroleum ether, dan sebagainya). Lemak lebih tepatnya
disebut sebagai ekstrak ether karena diekstraksi dengan menggunakan ether.
Penentuan kadar lemak kasar dapat diketahui dengan cara ekstraksi menggunakan
zat pelarut lemak menurut Soxhlet. Apabila sudah larut, kemudian pelarutnya
diuapkan maka akan tertinggal lemak kasarnya (Tillman et al., 1991).
Beberapa pakan ternak terutama bahan lemak kopra
dan dedak padi mengandung 10% ekstrak ether. Bahan-bahan tersebut memiliki
energi yang tinggi. Satu gram minyak atau lemak dapat menghasilkan 9 kkal. Di
dalam tanaman, lemak disintesis dari satu molekul dan tiga molekul asam lemak
yang di dalam proses pembentukan gliserol, pembentukan molekul asam lemak dan
kondensasi asam lemak dengan gliserol membentuk lemak (Winarno, 1986).
Bahan makanan ternak yang berasal dari tanaman,
sterol, lilin dan berbagai produk seperti vitamin A, vitamin D, karoten,
seringkali menyususn sampai lebih dari 50 % lemak makanan. Dalam senyawa
non-gliserida hanya mengandung sedikit energi yang tidak dapat digunakan, maka
bahan makanan yang mengandung non-gliserida nilai kalorinya kadang-kadang lebih
rendah dari itu. Nilai kalori yang rendah dapat dipakai untuk menetapkan nilai
energi dari lemak hewan, juga beberapa lemak tanaman dan terutama dari lemak hasil
ekstraksi dalam industri seperti biji kapas, kedelai dan sebagainya (Tillman et al., 1991).
Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen
(BETN)
Yang dimaksud ekstrak tanpa nitrogen dalam arti
umum adalah sekelompok karbohidrat yang kecernaannya tinggi, sedangkan dalam
analisis proksimat yang dimaksud ekstrak tanpa nitrogen adalah sekelompok
karbohidrat yang larut pada perebusan dengan H2SO4 1,25 %
dan pada perebusan dengan larutan NaOH 1,25% atau
0,313 N yang berurutan masing-masing selama 30 menit. Walaupun demikian untuk
penentuan kadar ekstrak tanpa nitrogen hanya berdasarkan perhitungan :
100% - ( %
air + % abu + % PK + % LK + % SK ) (Kamal, 1994).
BETN
mengandung mono-, di-, tri- dan tetra sakarida ditambah pati dan beberapa bahan
yang termasuk hemisellulosa karena kadar BETN adalah 100% dikurangi jumlah %
dari kadar air, abu, protein, lemak dan serat kasar, maka nilainya tidak tepat
dan dapat dipengaruhi kesalahan-kesalahan analisa dan zat-zat lain. Namun
kesalahan-kesalahan tidak begitu mengkhawatirkan pada analisis-analisis yang
telah rutin dikerjakan, terutama karena sellulosa dan pati adalah komponen
utama bahan makanan dan tabel tidak memisahkan zat-zat ini. Kesalahan pokok
tabel analisis proksimat adalah mengingat kenyataan bahwa ekstraksi alkali
lemak yang dipakai pada penentuan serat kasar memisahkan bagian lignin dari
beberapa rumput, karenanya mengurangi kadar serat kasar rumput tersebut.
Akibatnya nilai BETN seakan-akan naik, maka pada hijauan yang berkualitas
rendah, serat kasar dicerna oleh ruminansia, sebaik seperti halnya BETN, Metode
Van Soest untuk menganalisa hijauan, mempunyai kecenderungan meniadakan
kesalahan analisis serat kasar dan menyempurnakan bagan analisa proksimat
(Tillman et al., 1991).
Bahan ekstrak tanpa nitrogen dipengaruhi
oleh kandungan nutrien lainnya yaitu protein kasar, air, abu, lemak kasar dan
serat kasar (Kamal, 1994).
Sumber :
Anggorodi. 1985 . Ilmu Makanan Ternak Unggas. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Anonimous. 1998. Peranan Lamtoro Untuk ternak Ruminansia Indonesia. Warta
LITBANG Peternakan No. 9. DITJENAK. Jakarta.
Anggorodi. 1985 . Ilmu Makanan Ternak Unggas. Universitas Indonesia Press.
Jakarta.
Bo Gohl,. 1981. Tropical Feedes
Information Summeries and Nutrition Value. FAO of United Nations. Rome.
Bondy,
A.A. 1987. Animal Nutrition. Agricultur Research. Israel.
Conn, Eric C. 1971. Cyanogenetic
Glycosides, Toxyconts Accuring Naturally In Food. National Academy Of Science.
Engninger, M. E. 1981. Dairy
Cattle Science. 2ed. The Interstate Printed and Publisher Inc. Denville
Illionois.
Hartadi,H.S.
Reksohadiprodjo,s. Lebdusukojo. 1999. Nutrisi Ternak Dasar. Jurusan Nutrisi dan
Makanan Ternak. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta
Hartadi, H,S. Reksohadiprodjo dan A.D. Tillman.
2005. Tabel komposisi pakan untuk Indonesia. Cetakan ke-5. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta
Kamal, M. 1993. Nutrisi Ternak Dasar. Laboratorium
Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Kamal, M. 1994. Nutrisi Ternak Dasar. Laboratorium Makanan Ternak. Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Kamal, M. 1998. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum.
Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta
Lubis. D.A, 1992. Ilmu Makanan Ternak. Cetakan ke-2 PT.
Pembangunan. Jakarta
Mathius, I. W. 1992. The Potential and Feeding Value of
King Grass (Pennisetum purpureophoides) for Goat and Sheeps. Jurnal
Ilmiah Penelitian Ternak Grati.
Rasyaf, M. 1992. Makanan Ayam Broiler. Cetakan I. PT.
Kanisius. Yogyakarta.
Reksohadiprodjo, S. 1985.
Produksi Hijauan Makanan Ternak. Edisi
Revisi. BPFE. Yogyakarta
Soejono, M. 1983. Penangan Limbah Pertanian Sebagai
Singkat Ekologi Mikrobia. PAU Bioteknologi. UGM. Yogyakarta.
Tillman A.D, Hari Hartadi, S.
Reksohadiprojo, Prawirokusumo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta
Tillman A.D, Hari Hartadi, S. Reksohadiprojo,
Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Edisi
keempat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Utomo, R dan Soedjono, M. 1999. Bahan Pakan dan Formulasi
Ransum. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta
Wiliamson, G dan Payne. 1983. Pengantar Peternakan Di
daerah Tropis. Penerjemah Prof. Dr. SGN.
Djiwo. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Yahya,
Y. 1987. Ayam Sehat Ayam Produktif. Petunjuk Praktis Beternak Ayam. Jakarta.
Comments
Post a Comment